Pemusnahan bagian 2
Kelahiran
anak dari pasangan Kepala Desa itu bertepatan pada hari Minggu. Bayi itu
berjenis kelamin laki-laki dengan bobot 3 kg dan panjang 50 cm. Bayi itu sangat
imut, lucu, wajahnya bulat khas seorang bayi. Kulitnya bersih kunging langsat,
hidungnya mancung. Dan satu hal yang membuat Tini sangat suka bulu matanya
lentik. Rambutnya masih jarang-jarang dan masih berantakan setelah di bersihkan
dan di potong ari-arinya oleh bi Inah. Hari itu menjadi sebuah kebahagian baru
bagi keluarga kecil itu.
“ Pak.. pak… pak kepala desa ini
warga telah berkumpul banyak tinggal beberapa saja yang masih kita tunggu, kami
semua sudah siap mengungsi pak..” Teriak seorang penduduk di luar rumah Kepala
Desa itu. Di luar rumah Kepala Desa itu telah berkerumun banyak sekali warga.
Mereka semua membawa anak dan istri mereka, tidak ketinggalan pula barang
bawaan yang mereka bawa masing-masing. Bahkan sampai barang bawaan mereka
terlihat seperti sebuah gunung kecil karena begitu banyaknya barang yang
dibawa.
“Tini, tolong temani ibumu dulu ya…”
Dengan mengusap kepala anaknya kepala desa itu melangkah menghampiri bi Inah yang
berada di sebelah pojok ruangan itu, sedang membersihkan dan merapikan
perlengkapan untuk bersalin tadi. “ Bi, saya titip istri saya dulu, saya mau
melihat warga dulu di depan….”. Setelah itu kepala desa itu melangkah keluar,
namun belum sepuluh langkah ia kembali ke tempat bi Inah.” Oh ya bi, jangan
lupa setelah selesai kita kemas-kemas barang kita seperlunya untuk dibawa
mengungsi. Tadi sudah sedikit saya kemas-kemasi tinggal yang kurang-kurang
saja.”. Setelah itu kepala desa itu pergi secepat mungkin dari tempat bi Inah
menuju luar rumahnya menemui warga desa. Bi Inah yang di perintahkan pun segera
melaksanakan tugasnya.
Di luar rumah warga desa telah
menunggu kedatangan kepala desa mereka. “ Tenang, bapak-bapak, ibu-ibu beserta
adik-adik, sekarang kita mulai membuat barisan mengungsi.. untuk laki-laki di
depan, anak-anak di tengah dan ibu-ibu di belakang. Sudah segera membuat barisan
dan untuk yang belum da……”. Belum selesai berbicara terpotonglah perkataan
kepala desa itu dengan kedatangan beberapa penduduk yang belum datang dengan
suara teriakan dan berlarian. “ Awas… mereka sudah mendekat.. perang itu sudah
sampai di sini.. mereka dari sisi sebelah barat desa…”. Teriak seorang warga yang
berlari terengah-engah yang berasal dari kelompok yang datang terlambat itu.
Gerombolan warga yang telat itu berlarian membuat warga yang sudah mau
bersiap-siap menjadi panic. Kepanikan itu menimbulkan kegaduhan yang membuat
instruksi kepala desa di hiraukan. Ya, mereka lupa jikalau di minta untuk
baris, mereka kocar-kacir tidak karuan. Ketidak karuan itu menimbulkan beberapa
bertingkah aneh. Ada yang menangis, ada yang ketakutan dengan ekspresi wajah seperti menahan buang
air besar tapi memang ternyata ia mau buang air besar, ada yang bingung
plonga=plongo ada pula yang menjerit=jerit, tapi jeritan itu karena kakinya
terinjak oleh teman sebelahnya.
Menepuk kepalanya kepala desa itu
bingung melihat tingkah laku warganya yang kebingungan. Ia berkata dalam hati “
Aku sebenarnya sedikit marah, karena omonganku di hiraukan akan tetapi aku juga
kasian, sedih namun merasa lucu juga iya. Sungguh wargaku ini unik-unik semua”.
Bergegas mengambil sebuah kursi dan kentongan kepala desa itu
kemudianmenempatkannya di tempat yang dapat terlihat oleh seluruh warganya,
baik yang sudah datang kocar-kacir ataupun yang baru datang yang membuat
kocar-kacir. “ Tenang….. tenang…”. “tong…tong…tong…”. Teriakan kepala desa itu
sambil membunyikan kentongan yang ia jinjing berusaha menghentikan suasana
tidak karuan itu. “ Tenag.. tenang bapak-bapak, ibu-ibu.. tenangkan diri
kalian..”. Suasana gaduh itu akhirnya terpecah oleh suara keras kepala desa.
Akhirnya suasana kembali tenang semua warga dengan mata yang begitu serius
kemudian memperhatikan kepala desa mereka, suasana telah terkendali kembali. “
Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian saya mohon untuk bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian
segera melanjutkan kesepakatan tadi dan segera bergegas meninggalkan kampong ini
secara tertib. Kita telah kehabisan waktu bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian.
Jadi marilah kita segera berbaris, mereka yang berperang sudah sangat dekat,
mari kita semua bergegas”.
Kepala desa itu kemudian bergegas
memanggil semua anggota keluarganya untuk segera berangkat meninggalkan rumah
mereka. Tini di situ melompat-lompat menengok-nengok kea rah adik barunya. “
Tini jangan melompat-lompat ayo segera ke depan, bantu bi Inah juga jangan
merepotkan dengan barang-barangmu sendiri.”. Raut wajah kesal bercampur marah
ibu Tini memperingatkan Tini yang lompat-lompat melihat adiknya. Ibu Tini yang
masih dalam keadaan lemas akhirnya keluar rumah bersama dengan Tini dan Bi Inah.
“ Bu, gimana keadaanmu ? sudah kuat ? “. Menyambut istrinya yang keluar kepala
desa itu kemudian membantu membawakan barang-barang bawaan. “ Masih agak lemas
yah, tapi nggak apa-apa ayo segera bergegas.” Sambil menggendong anaknya yang
baru lahir istri Kepala Desa itu berkata pada suaminya dengan suara pelan,
pertanda masih dalam keadaan yang lemas. “ Iya bu, tapai kalau ada apa-apa,
semisal ibu kelelahan atau yang lainnya nanti bilang ke ayah ya “. Dengan wajah
khawatir kepala desa itu melihat istrinya yang masih lemas namun ia segera
bergegas berjalan ikut dalam rombongan yang telah siap menunggu. Rombongan itu
sekitar 1200 orang, mereka telah berbaris rapi kalau di lihat dari angkasa
seperti barisan semut yang berkerumun rapi.
“ Okay kapten…”. “ Swiuew…..dwar…dwar…dwar…”.
Rudal itu menghujam kearah kerumunan yang berjalan keluar desa itu menuju kea
rah timur. “ Swieuw.. dwar… dwar..”. Roket menghujani kembali kerumunan itu.
Gerombolan pengungsi itu akhirnya pecah tak karuan. Roket itu menghujam
merampas beberapa nyawa warga desa yang mengungsi itu. “Swiuew.. dwar.. dwar..
dwar…..”. Roket itu uterus menghujani gerombolan itu dan mengakibatkan banyak
korban. Banyak yang mati dari serangan roket tersebut, yang lain tunggang
langgang pergi meninggalkan yang sudah tewas. Mereka semua pergi tidak karuan
berlari mencari hidup. Dalam situasi itu dapat di katakana tidak ada harapan
lagi untuk dapat selamat karena tempat it uterus menerus di hujani roket, hamper
mustahil untuk dapat lolos. Kini hanya tersisa 20 orang saja dari 1200 orang
tadi.. Di situasi seperti ini masihlah beruntung keluarga kepala desa itu masih
termasuk kedua puluh orang yang masih hidup. Keluarga kepala desa itu masih
lengkap semua tanpa ada yang kurang, hanya barang-barang mereka saja yang sudah
lenyap hilang entah kemana.
“ Stoooopppp…”. Dengan mengangkat
satu tangan Kapten salah satu Negara yang berperang itu menghentikan hujan
roket yang menghujani rombongan pengungsi tadi. Kini suasana perkampungan
tersebut sudah bak tanah gersang yang terkena letusan gunung, terlihat tidak
ada sedikitpun hawa kehidupan di dalamnya. Meskipun begitu Kapten itu masih
berpikir dan merasa masih ada orang yang masih hidup. Kapten itu kemudian
memerintahkan anak buahnya untuk menyusur mencari jejak-jejak kehidupan yang
masih ada.” Hey kalian semua susurlah daerah ini sekiranya masih ada orang yang
hidup bunuhlah semua. Meskipun kita telah menang melawan Pasukan Negara
Portlagis siapa tahu mereka masih bersembunyi. Cepatlah segera bunuh mereka
semua, tumpas yang masih ada.”. Mendengar perintah Kaptennya kemudian para
prajurit menyusur ke desa itu dengan membawa pistol dan pisau untuk membunuh
orang yang masih hidup.
Di tempat lain Kepala desa dan
keluarganya terus berlari menuju daerah yang aman mencari hidup. Namun di
tengah-tengah perjalanan istri sang kepala desa berhenti tiba-tiba meminta
beristirahat. Akhirnya mereka berhenti mencari tempat persembunyian yang aman
guna untuk istirahat sejenak. Kepala Desa itu pun berpikiran bahwa prajurit-prajurit
yang berperang tidak akan mengejar mereka apalagi mereka telah lari cukup jauh
dari desa, maka ia berpikir dalam hati.”Ah, ya sudahlah istirahat dulu, toh
mereka tidak akan mengejar apalagi ini sudah cukup jauh tidak aka nada yang
mengejar.” Namun kepala desa itu merasa sangat sedih, hatinya seperti di
sayat-sayat melihat warganya banyak yang tewas, “Apabila tidak karena di minta
oleh para warga yang masih hidup untuk melindungi barang ini mungkin aku ingin
mati saja bersama wargaku”.
Bersambung….
0 Komentar untuk "NUSANTARA 1. Pemusnahan bagian 2"